MERAWAT DEMOKRASI NEGERI
Oleh Noor widiastuti
Sustainable Development Goals atau yang dalam Bahasa Indonesia kita
kenal dengan nama Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini merepresentasikan ajakan
secara global untuk aktif dalam pengentasan kemiskinan, melindungi planet serta
menjamin perdamaian dunia serta kesejahteraan. Terhitung ada 17 tujuan yang
termaktub dalam SDGs yang salah
satunya, yaitu tujuan no. 16 adalah “Perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang
tangguh – Mendorong masyarakat adil, damai, dan inklusif.” Aspek ini memberikan
petunjuk yang spesifik untuk menghadapi tantangan imperatif seperti membangun
institusi atau lembaga yang efektif, akuntabel, dan inklusif; menjamin
kepercayaan dan integritas pemilihan umum; menjamin pengambilan
keputusan/kebijakan pada semua level
yang responsif, inklusif, participatory
serta representatif. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pemilihan umum
merupakan bagian integral (tak terpisahkan) dari pembangunan berkelanjutan guna
menciptakan masa depan global yang lebih baik melalui penguatan demokrasi.
Demokrasi dan pemilu adalah hal
yang tak dapat dipisahkan karena pemilu merupakan praktik demokrasi secara
langsung. Bicara soal pemilu, bangsa Indonesia akan segera menghadapi pesta
demokrasi terbesar pada april mendatang. Bisa dikatakan ini adalah gongnya
pemilu. Pemilihan presiden, kepala negara, alias orang nomor satu di negeri
ini. Tidak usah heran jika beberapa waktu ini sampai nanti pasca Pemilu
televisi, surat kabar, media sosial, serta jalan-jalan yang anda lalui akan
dipenuhi oleh gambar-gambar besar calon presiden. Bahkan obrolan di warung kopi
tempat tukang ojek biasa mangkal pun tak kalah dengan riuh rendah kampanye.
Begitu pentingnya memilih kepala
negara sehingga memastikan pemilih mengenal seluk-beluk pasangan calon merupakan
hal wajib bagi pasangan calon. Melalui kampanye para calon pemimpin
mempromosikan diri mereka, program-program unggulan mereka, namun tak jarang
pula keburukan-keburukan lawan juga tersebar. Iya, tersebar. Ada alasan mengapa
saya memilih istilah “tersebar”---- kata pasif, tanpa keterangan pelaku- tak
lain tak bukan adalah karena pelaku penyebar sering tidak diketahui. Hanya
sebuah pesan panjang via aplikasi whatsapp
dengan kalimat penutup “Sebarkan ini ke semua kontak Anda demi masa depan
bangsa ini” di ujungnya misalnya. Berlindung di balik anonimitas menyebarkan
berita bahwa misalnya salah satu pasangan calon dulunya merupakan eks-anggota
partai terlarang begitu mudah dilakukan. Entah siapa yang memulai yang jelas
tahun-tahun politik yang panas akan selalu membuat telinga Anda bising dengan
berita-berita bombastis yang kebenarannya tidak jelas, yang lebih populer
dengan sebutan hoax (berita bohong).
Sebagaimana
kita pahami bahwa nature kampanye
politik adalah soal strategi dan persaingan. Sebenarnya definisi kampanye
menurut UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 1 Angka
26 adalah “kegiatan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi,
dan program Peserta Pemilu”, namun pada kenyataanya pada masa kampanye yang
kita temui bukan hanya penawaran visi dan misi calon namun juga “aib-aib”
calon. Tidak hanya bagaimana menampilkan citra diri sebaik mungkin namun juga
menampilkan kelemahan-kelemahan lawan. Pada tahap inilah terjadi black campaign atau kampanye hitam.
Kampanye
hitam umumnya dapat dilakukan oleh kandidat atau calon karena kekurangan sumber
daya yang kuat untuk menyerang calon lain dengan bermain pada permainan emosi
para pemilih agar pada akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon
pilihannya. Kasarnya, “Saya akan tampak lebih baik jika Anda tampak buruk”. Hal
ini mengingatkan saya pada kutipan Jawa “menang
tanpa ngasorake” yang berarti sifat ksatria sejati itu bisa menang tanpa
merendahkan”. Sebuah tamparan keras (seharusnya) bagi pihak-pihak yang
melakukan kampanye hitam. Ketika seseorang merasa perlu merendahkan orang lain
agar tampak baik, artinya kebaikan dalam dirinya tidak cukup kuat untuk membuat
orang-orang bersimpati. Mau tidak mau kita harus menyadari bahwa kita sedang
menghadapi era itu dan kita sebagai target kampanye harus kritis dalam memilah
mana yang benar.
Noam
Chomsky mengatakan “It is the
responsibility of intellectuals to speak the truth and expose lies”, yang
jika diterjemahkan artinya adalah tanggung jawab para intelektual untuk
menyuarakan kebenaran dan mengungkap kebohongan. Kutipan dari Chomsky tersebut
bisa menjadi solusi atas maraknya hoaks. Tangkal berita bohong dengan berita
benar, dan ini menjadi tanggung jawab moral untuk yang berpengetahuan untuk
menjadi penerang bagi yang tak berpengetahuan. Pada akhirnya penguatan
demokrasi dalam rangka pembangunan
berkelanjutan hanya akan menjadi keinginan utopis semata jika dalam proses
pesta demokrasi para pemimpin yang seharusnya menjadi garda terdepan malah
justru mencederai demokrasi dengan menyebarkan hoaks demi merebut kursinya.
Seperti
kata almarhum John F. Kennedy “Jika politik itu kotor, puisi akan
membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.”, melalui
tulisan ini saya yang seorang warga negara biasa (yang harus peduli pada masa
depan bangsanya) mencoba memanfaatkan kebebasan berpendapat melalui tulisan uneg-uneg ini agar sekiranya dapat
meluruskan sendi-sendi kehidupan yang belok akibat diterjang dahsyatnya arus
kontestasi politik. Mari merawat demokrasi sehat dari ancaman penyakit kotor
politik!
Komentar
Posting Komentar